A. Pendahuluan
Hingga tahun 1990-an terorisme masih dianggap persoalan keamanan
level dua, namun semenjak insiden 11/9 atau 11 September 2001 dan kemudian di
Ankara, Madrid, London merupakan suatu serangan dalam skala dan intesitas yang
luar biasa dan mengubah pandangan global terhadap isu terorisme yang telah
berubah menjadi suatu ancaman global dan mempengaruhi stabilitas dan keamanan
global.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme adalah puncak aksi
kekerasan yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha
mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). Sedangkan teroris adalah orang
yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan
politik), dan teror adalah perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha
menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan. Ciri sentralnya
yang merupakan satu bentuk kekerasan politik yang bertujuan untuk mencapai
tujuannya dengan terciptanya iklim ketakutan dan ketundukan (Goodin, 2006).
Kekerasan teroris biasanya tiba-tiba yang dirancang untuk menciptakan
ketidakpastian dan ketakutan yang meluas.
Sebagian besar terorisme bersifat nasional;terkait dengan
perjuangan politik dimana negara-negara lemah dengan kondisi politik yang
rapuh. Namun, suatu peningkatan dalam terorisme internasional dalam bentuk
pembajakan pesawat terbang, berlangsung dari akhir 1960-an. Perjalanan udara
meluas signifikan sejak 1950-an yang tidak ada system keamanan yang efektif di
bandara selain itu media internasional memberikan liputan menyeluruh yang
mendorong beberapa kelompok untuk mengrimkan pesan mereka kepada dunia.
Terorisme internasional telah menjadi suatu fenomena terutama yang berkaitan
dengan islam radikal dan yang paling terkenal adalah Al-Qaeda.
B. Terorisme, Konsep dan Maknanya
Terorisme bukanlah suatu fenomena modern. Contoh dari terorisme
dimasa kuno adalah Sicarri (manusia belati) bisa dianggap sebagai
kelompok ekstrem dari Yahudi fanatic diabad kesatu, yang menggunakan metode
pembunuhan dan penculikan dalam usaha melawan Romawi di Judea dan melawan
orang-orang Yahudi yang bekerja sama dengan Romawi. Namun, istilah teroris
berasal dari revolusi Prancis dan Kerajaan Teror (1793-1794) yang pada saat itu
terjadi eksekusi masal yang dilakukan oleh Jacobin dibawah kepemimpinan
Robespierre, dimana 40.000 orang yang dianggap musuh revolusi dibunuh.
Terorisme menggunakan kekerasan bermaksud untuk menciptakan
ketakuan dan kecemasan tentang bahaya kematian dan kerusakan di masa depan,
bukan bermaksud untuk menghasilkan kematian atau kerusakan. Terorisme
seringkali brupa serangan kejutan atau tidak disanga-sangka dan tidak pilih-pilih.
Akan tetapi, konsepnya masih sangat problematis, dapat didefinisikan menurut
sifat dari:
·
Aksi
itu sendiri: kekerasan yang dilakukan secara gelap atau tersembunyi yang tampak
tidak pilih-pilih, tetapi wataknya tidak melekat pada sisi kekerasan tergantung
pada motif atau tujuannya (Schmid & Jongman, 1988).
·
Para
korban aksi terorisme sebagian besar terdiri dari warga sipil yang tidak
berdosa.
·
Para
pelakunya terdiri dari badan-badan non negara yang bermaksud untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintahan ataupun hanya sebagai pengalihan isu bagi sebagian
kelompok.
Namun terorisme berbeda dari perang lainnya, karena ini kemungkinan
realistis tidak bisa untuk dilawan musuh-musuhnya dan sulit untuk melakukan
pertahanan dan ini hamper sama dengan perang gerilya. Akan tetapi kedua hal ini
dapat dibedakan; pertama, terorisme dapat dicirikan sebagai penekanan
yang sangat besar pada kekerasan untuk membentuk kesadaran pada yang menjadi
sasarannya. Bercerminkan pada propaganda dengan perbuatan, aksi-aksi kekerasan
sangat kasat mata dan mengejutkan kesadaran yang dirancang untuk mendramatisir
ketidakmampuan pemerintah ataupun mengintimidasi komunitas yang dimusuhi
public; kedua, watak aktivisme teroris cenderung sebagai alat politik
dari sebuah kelompok politik.
Para sarjana radikal beragumen bahwa terorisme dan bentuk-bentuk
kekerasan politik yang lain mungkin untuk memperjuangkan keadilan politik dan
untuk melawan bentuk-bentuk kekerasan atau pelanggaran lainnya. Dan juga para
teoretikus kritis memperingati tentang bahaya dari esensionalisme terorisme,
yang dapat diartikan sebagai identitas, nasionalitas, agama atau etnisitas
dengan tujuan yang berbeda-beda sebagai landasannya.
Perdebatan lebih lanjut tentang teroisme distimulasi oleh ide bahwa
terorisme muncul dari beragam bentuk dan diperkuat oleh peristiwa 11 September
yang diaggap sebagai kemunculan satu jenis terorisme baru. Ignatieff (2004)
membedakan empat jenis terorisme:
·
Terorisme
pemberontakan; bertujuan menggulingkan sebuah negara secara revolusioner.
·
Terorisme
tunggal; bertujuan untuk mempromosikan maksud tunggal (Pengeboman klinik aborsi
di AS dan serangan gas saraf di terowongan bawah tanah Tokyo oleh sekte
keagamaan Aum Shrinrikyo)
·
Terorisme
nasionalis; bertujuan untuk mengusir kekuasaan penjajah, biasanya untuk
mendapkan kemerdekaan (contohnya FLN di Aljazair, Macan pembebasan Tamil Eelam
di Sri Lanka, Hamas di Palestina)
·
Terorisme
global; bertujuan menghasilkan kerusakan pada kekuasaan global untuk
mentrasformasi hubungan-hubungan peradaban global (contohnya Al-Qaeda).
C. Kebangkitan Terorisme Baru
Konsep
tentang terorisme baru ditandai oleh peristiwa 11 September, dengan ciri paling
penting adalah motivasi-motivasi keagamaan yang dianggap suci dan sebagai
tempat berjihad. Dan konsep terorisme baru cenderung lebih radikal dan merusak
darpada terorisme tradisional karena watak organisasi, karakter politik,
motivasi dan strategi yang melandasinya. Terorisme dianggap sebagai bagian dari
globalisasi dengan berbagai sejumlah alasan. Namun dapat juga disebut sebagai
suatu bencana, seperti contohnya kejadian 11 September yang memperlihatkan
kehancuran mitos bahwa system pertahanan AS tidak tersentuh itu hancur oleh
adanya serangan terorisme.
Pada saat
yang sama, bisa saja ini merupakan sebuah kejahatan terorganisir, bisa juga ini
sebagai terorisme yang terorganisir. Seperti jaringan terorisme Al-Qaeda yang
bersifat luar biasa dan tumbuh menjadi ancaman skala besar terhadap masyarakat
global. Ataupun argumen kedua merupakan jenis terorisme dihubungkan dengan
islam radikal yang sama sekali tidak mewakili islam.
Sejauh
dengan keterkaita terorisme islamis, kasus domestic lebih dominan daripada
kasus global selama 1970-an dan 1980-an, ketika kebencian terhadap AS dan ide
perlawanan terhadap Barat yang lebih luas hanya sebagai kedok untuk mencapai
usaha-usaha kekuasaan di level nasional. Ini adalah situasi dimana Al-Qaeda
muncul dan sering dipandang sebagai contoh paling jelas dari terorisme global
dan sebagai kebangkitan konsep terrorise baru. Tujuan-tujuan Al-Qaeda bersifat
transnasional, bukan peradaban: berusaha memurnikan dan meregenerasi masyarakat
muslim secara luas, baik dengan menggulingkan para pemimpin muslim yang murtad
dan mengusir pengaru barat dan dalam perjuangannya untuk melawan korupsi moral.
Akhirnya ada
bahaya terorisme internasional yang dibolehkan menggunaka senjata pemusnah
masal (WMD atau weapon of mass destruction) yaitu berupa senjata biologi, kimia
dan senjata nuklir. Jelas bahwa kelompok-kelompok terorisme mempunyai insentif
untuk menggunakan WMD yang akan menciptakan ketakutan, kerusakan dan
mempertinggi posisi kekuatan baru (Schmitd: 2005). Namun menurut Pearlstein,
2004 berpendapat bahwa tidak mungkin para teroris mendapatkan akses untuk
menggunakan WMD, bahkan jika adapun pasti dilarang oleh pemerintah. Sehingga
para teroris menggunakan bahan yang lain dan masih signifikan untuk berpotensi.
Sehingga
secara luas diasumsikan bahwa serangan 11 September merupakan awal dari bentuk
terorisme baru yang lebih signifikan yang dapat terjadi dimana dan kapanpun
yang lebih radikal dan merusak yang memiliki watak politik, motivasi, strategi,
dan organisasi daripada teroris tradisional terutama mendapat pengaruh besar
dari segi keagamaan. Walaupun sebagian orang dapat menerima bahwa terorisme merupakan
salah satu dari proses globalisasi, tetapi terdapat pertanyaan antara hubungan
keduanya sehingga diduga taktik-taktik teroris baru semakin memudahkan akses
untuk menggunakan WMD.
D. Terorisme dan Keterkaitannya dengan
Islam Radikal
Globalisasi mungkin
memberikan landasan terorisme meperoleh karakter yang semakin global dan
transnasional. Keadaan ini terlihat dalam kasus terorisme yang bersifat agamis;
islam radikal. Yang menurut Azzam, 2008 muncul akibat dari tiga perkembangan
besar yaitu; pertama, banyaknya negara muslim mengalami krisis
legitimasi pemerintahan, sejalan dengan adanya kemunduran nasionalisme Arab
kegiata ini menyebabkan gerakan berbasis keagamaan; kedua, bersamaan
dengan itu pengaruh AS di Timur Tengah meluas dan dipandang sebagai musuh,
ketika kebijakan-kebijakan dukungan terhadap Israel dan penempata
pasukan-pasukan di Tanah Suci; ketiga, terdapat pertumbuhan
bentuk-bentuk fundamentalisme keagamaan dan politik dibanyak kegiatan dalam
dunia Islam, sebuah tren yang secara radikal diakselarasi oleh ‘Revolusi Islam
Iran 1979’.
Memang
harus diakui, bahwa ideologi agama sedikit banyak berpengaruh terhadap
munculnya aksi radikalisme. Teks-teks agama yang
ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithicpartial) akan menimbulkan
pandangan yang sempit dalam beragama.
Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat
suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan
radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka
bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror.
Pada
beberapa dekade belakangan ini, fenomena radikalisme seringkali
dimanifestasikan sebagai islamisme, yakni aktivitas bernuansa agama yang
menuntut reposisi peran Islam dalam politik ketatanegaraan. Islamisme di sini
sebenarnya sangat kompleks, sehingga tidak bisa dijelaskan hanya dengan membuka
sejarah-sejarah masa lalu. Bukan juga hanya dapat dimaknai dengan fanatisme
keagamaan yang identik dengan gerakan kekerasan untuk tujuan surgawi. Namun
islamisme tidak dapat terlepas dari gejala perubahan sosial, politik, dan
ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam (Hasan, 2010: 20).
Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan
secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkir balikkan
nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan
aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan
paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang
lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah),
3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner
(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Memiliki
sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus
dalam paham dan aksi terorisme.
Dampak paling nyata dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya
politisasi di dalam agama, di mana agama memang sangat sensitif sifatnya,
paling mudah membakar fanatisme, menjadi kipas paling kencang untuk melakukan
berbagai tindakan yang sangat keras, baik di dalam kehidupan sosial antar
individu maupun kelompok, sehingga terbentuklah apa yang dinamakan kelompok
Islam radikal.
Sebagai
sebuah paham, radikalisme Islam tentu saja tidak dapat dipisahkan dari gerakan
fundamentalisme Islam. Keduanya merupakan gerakan keislaman yang sehati
seirama. Sama halnya seperti fundamentalisme Islam, term dan konsep radikalisme
Islam bukan berasal dari agama Islam, akan tetapi merupakan produk impor dari
Barat. Hingga detik ini, belum ada kesepakatan di antara pemerhati Islam
mengenai istilah yang tepat untuk menggambarkan gerakan radikalisme Islam.
Fazlur Rahman (2008) melabeli gerakan ini sebagai gerakan neo-revivalisme atau
neofundamentalisme sebuah gerakan yang mempunyai semangat anti Barat.
Fundamentalisme
Islam dapat mengekspresikan orientasi radikal. Radikal Islam memahami Islam
sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada
otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi
Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama
dalam kehidupan publik, terutama politik. Pandangan radikal adalah pada keharusan
untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari’ah. Perbedaan antara kaum
radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam.
Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi,
kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya. Hanya saja, berbeda dari Islamis
atau neo-fundamentalis, radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara
kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya dan
sebagai makna jihad fi sabilillah.
E.
Meluruskan Makna Jihad dalam Islam
Masalah utamanya dalam pemaknaan kata “jihad”. Maka sekarang ini
kita banyak melihat perilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang
berhubungan dengan Amerika, seperti hotel JW Marriot dan Ritz Calten dll. Dalam
benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam
karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya
dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan
syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan
kaum muslimin. Konsep inilah yang disebut dengan jihad fi sabilillah.
Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam.
Namun, jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia
meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu,
memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan
tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi. Lebih dari itu,
jihad yang paling berat sebenarnya adalah jihad melawan hawa nafsu. Dan jika
dilihat, jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang
terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad
yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang
tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup
kaum Muslimin yang berada di Makkah.
Sedangkan terorisme hanyalah kegiatan sekelompok orang yang tidak
memiliki tujuan yang jelas. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya memusuhi
bangsa atau etnis, karena semuanya merupakan fitrah yang diciptakan oleh Allah.
Islam hanya memusuhi pandangan kufur yang dipaksakan kepada umatnya, dan umat
lain, sehingga menolak kebenaran ilahi (Islam). Maka, penolakan umat Islam pada
ideologi setan dan nilai- nilai Barat adalah aspirasi intelektual dan politik
yang sah dari setiap Muslim, karena bertentangan dengan identitas dan peradaban
Islam. Sebagaimana mereka sendiri juga menolak penjajahan, globalisasi dan
perang, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Jadi gerakan keagamaan
yang diduga dalang dari terorisme tidak bisa merepresentasikan Islam karena mereka
telah mereduksi pemahaman Jihad ke dalam bentuk-bentuk teror, sesuatu yang
tidak diajarkan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika dilihat dari pribadi Rasulullah SAW yang diamanati oleh Allah
SWT untuk menyebarkan Islam ke seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin),
maka jelas sekali bahwa terorisme sama sekali tidak dikenal, bahkan bertolak
belakang dengan ajaran Islam. Terorisme menggunakan kekerasan, kekejaman serta
kebengisan dan cara-cara lain untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri pada manusia
untuk mencapai tujuan. Sedangkan Islam dengan lemah-lembut, santun, membawa
khabar gembira tidak menjadikan manusia takut dan lari, serta membawa kepada
kemudahan, tidak menimbulkan kesusahan, dan tidak ada paksaan. Memang kedua hal
tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Terorisme biasanya digunakan untuk
tujuan politik, dan kekuasaan. Sedangkan Islam bertujuan untuk menuntun manusia
dalam mencapai kebahagiaan hidupnya dengan dilandasi rasa kasih sayang hanya
semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Jadi dengan demikian, jelas dan
teranglah bahwa terorisme dalam pandangan agama Islam tidak dibenarkan, dan
jauh dari tuntunan Islam. Terorisme merupakan kejahatan terhadap banyak orang
dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta
musuh dari semua agama.
Kesimpulan
Semenjak tragedi 11/9 isu tentang terorisme selalu di blow up oleh
media sehingga di Barat menimbulkan istilah islamophobia, dan disebutkan adaya
diakibatkan oleh islam radikal. Namun, jika dilihat lebih jauh, bahwa kasus
terorisme jauh sudah ada sebelum kejadian 11/9. Namun sebagian pihak
berpendapat bahwa terorisme memiliki watak transnasional diakibatkan adanya
proses globalisasi sehigga isu ini menjadi isu yang sanat memncolok dalam
system ketahana pdan pertahanan disetiap negara.
Hal yang tidak sesuai dengan fakta bahwa terorisme adalah suatu
jalan jihad kaum muslim untuk jihad fi sabilillah. Jika dilihat secara
dalam, jihat yang dimaksud disini bukanlah dengan cara menjadi teroris sehingga
aksi terorisme merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama islam maupun
oleh agama lainnya. Hal ini dikarenakan aksi terorisme merupakan suatu
kejahatan yang akan merugikan semua pihak, dan biasanya terorisme hanya
dijadikan sebagai kambing hitam akibata adanya kepentingan politik suatu
kelompok atau golongan ataupun pengaliha suatu isu sehingga tercapainnya suatu
kepetingan golongan politik tanpa adanya suatu halangan.
Referensi
Jackson, Rober. Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan
Internasional Edisi Kelima. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2013.
Heywood,
Andrew. Politik Global Edisi Kedua. Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama,
Yogyakarta: 2017.
Abduh,
Umam. Konspirasi Intelejen & Geraka Islam Radikal. Centre for
Democracy and Social Justice Studies, WISMA HAROEN, Yogyakarta: 2003
W
Kusumah, Mulyana. Terorisme Dalam Perspektif Politik dan Hukum. Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002: 22 – 29.
Mustofa,
Imam. Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi. Jurnal Religia Vol. 15 No. 1,
April: 2012, Hal. 65-87.
Komentar
Posting Komentar