Perkembangan pasar bebas kontemporer sebagai akibat dari
perkembangan dari globalisasi. Untuk dua negara atau lebih kegiatan ekonomi
memiliki daya yang kuat untuk memasok pertumbuhan negaranya, kegiatan
ekspor-impor menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan disetiap belahan dunia.
Sehingga tercetuskan untuk menjalin suatu hubungan antar negara wilayah atau
regional menjalin suatu kerjasama yang memudahkan kegiatan ekspor-impor atau
yang sering kita sebut “pasar bebas”. Pasar bebas sendiri bertujuan untuk meminimalisir
hambatan atau meniadakan hambatan yang diberlakukan disetiap negara sehingga
proses perdagangan menjadi lebih mudah, contohnya meniadakan tarif pajak atau
kouta impor dan bebas mengakses info terhadap suatu barang.
Salah satu instansi pasar bebas adalah Mayarakat Ekonomi
Eropa (MEE) atau lebih dikenal dengan Uni Eropa. Persatuan yang berawal dari
akibat perang dunia kedua yang beranggotakan 28 negara. Kerjasama antar Negara
anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap keleluasaan gerak sumber produksi,
manusia (sumber tenaga kerja), hasil produksi, dan jasa tanpa tarif atau
minimal dengan kesegaraman tarif yang rendah. Terjalinnya kerjasama antar
Negara anggota di bidang politik sehingga dapat mengurangi dampak negatif
rivalitas antar Negara-Negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu kala
sehingga bisa menghindari terjadinya perang di Eropa, serta menjadi salah satu
kekuatan di dunia dalam regulasi internasional.
Inggris adalah salah satu anggota Uni Eropa yang masuk secara resmi
pata tanggal 1 Januari 1973. Dengan memiliki potensi perekonomian yang kuat dan
salah satu sebagai negara yang berpengaruh di MEE dan juga sebagai salah satu
pendonor kas terbesar. Seperti yang dilansir Dana Moneter Internasional (IMF)
mengatakan hasil referendum Inggris tersebut telah menekan ekonomi dunia dan
dalam laporan terbarunya, IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia
pada 2016 menjadi 3,1% dari perkiraan semula 3,2%. Namun , hasil dari Keputusan
Pemerintah Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dilakukan berdasarkan hasil
referendum British Exit (Brexit) pada 23 Juni 2016. Di mana referendum ini
dimenangkan oleh pihak Brexit atau kelompok Leave dengan kemenangan
suara mencapai 52 %, sedangkan kelompok Remain hanya memperoleh suara 48
% (BBC, 2016).
Alasan Inggris Keluar dari Uni Eropa
Uni Eropa merupakan suatu organisasi perdagangan internasional.
Dalam arti luas kebijaksanaan ekonomi internasioal adalah tindakan atau
kebijaksanaan ekonomi pemerintah, yang scara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
komposisi, arah serta bentuk daripada perdangan dan pembayaran internasional.
Kebijaksanaan ini tidak hanya berupa tarif, quota dan sebagainya. Tetapi
meliputi kebijaksanaan pemerintah didalam negeri yang secara langsung tidak
langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan dan pembayaran internasional.
Atau secara ringkasnya adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah
yang secara langsung mempengaruhi perdagangan dan pembayaran internasional.
Kebijakan perdagangan internasional mencakup tindakan pemerintah terhadap
rekening yang sedang berjalan (current account) daripada neraca pembayaran
internasional, khususnya tentang ekspor dan impor barang atau jasa. Jenis
kebijaksanaan ini misalnya tarif terhadap impor, bilateral trade agreement,
state trading dan sebagainnya.
Begitu pula dengan Inggris yang menginginkan keluar dari Uni Eropa
atau yang disingkat dengn UE karena keguncangan pada politik negara Inggris
alami lebih dari satu kali, lain dari itu karena faktor sosial dan ekonomi. Mula-mula
hampir 70% Inggris mengimpor untuk anggota
Uni Eropa. Dan keluarnya Inggris dari
Uni Eropa memungkinkan Inggris mendapat keuntungan dalam WTO. Dilihat
dari segi pertanian, 60-65% Inggris mengekspor kepada negara anggota Uni Eropa dan semenjak itu menurunnya jumlah
petani dan memberi tantangan bisnis sehingga mendorong Inggris lebih lanjut
untuk keluar dari Uni Eropa. Sekarang
ini, Uni Eropa sangat bergantung pada
sektor pertanian dan menurut Jongeneel terdapat tiga perbedaan skenario yaitu
Inggris- Uni Eropa pasar bebas, kegagalan liberalisasi pasar WTO pada Inggris.
Terhadap pertanian, perjanjian Inggris- Uni Eropa FTA menetapkan bahwa Inggris
mengharuskan membayar Tariff Rate Quotas (TRQ) dengan salah satunya daging
domba. Kesalahan WTO adalah pada nyatanya memberatkan Inggris untuk membayar
semua. Perbedaan terbesar yaitu pada tarif yang 50% memberatkan pada Inggris
untu membayar sepertiganya daripada anggota
Uni Eropa dan secara langsung ini mengurangi aktivitas produksi negara
Inggris.
Hampir setengah dari organisasi keuangan di dunia memiliki markas
besar di London. Dan hampir seribu milyar orang bekerja di sektor keuangan di
Inggris (EGOV, 2016). Menurut Statisik Nasional, sektor keuangan Inggris telah
mengekspor £20.2 milyar kepada Uni Eropa pada tahun 2014 atau secara
kasarnya telah mengekspor 41% atas itu. Disisi lain, Uni Eropa sebagai parter perdagangan terbesar
di Inggris (Lightfoot, 2016) sehingga secara tidak langsung sektor keuangan
antara Inggris dan Uni Eropa tersambung.
Dan ini menyebabkan ketidaktentuan dan membahayakan perkembangan Inggris,
terutama untuk London itu sendiri sebagai sektor keuangan terbesar (Jackson, 2016), dan IMF (2016) telah memberikan peringatan
kepada Inggris bahwa terkena resiko kerugian pada ekonominya. Dan hal ini
dilaporkan dari berbagai bank di Inggris dan luar Inggris.
Selain dari faktor ekonomi yang diambang kehancuran, beban
finansial yang ditanggung oleh Inggris akan banyaknya pelajar adalah penyebab
utamanya Inggris ingin keluar dari Uni
Eropa, karena dirasa jumlah imigran meningkat dan jika tetap berkelanjutan akan
merusak atau menyebabkan efek negatif bagi negara Inggris sendiri. Armstrong
dan Van de Ven (2016) menerangkan bahwa jumlah populasi para imigran terus
meningkat seiring berjalannya waktu. Simulasi dari hal ini dari Armstrong dan
van de Ven (2016) mengemukakan bahwa kebanyakan orang-orang cenderung
berimigrasi ke Inggris pada usia 18-24 tahun dan kebanyakan jumlahnya dari
anggota Uni Eropa. Frattini (2014)
menjelaskan bisa diprediksi para imigran akan lebih bertambah banyak dan dengan
ini keluarnya satu kebijakan baru yaitu Inggris keluar dari Uni Eropa.
“..the UK was so smart in getting
out (…) I believe others will leave.I do think keeping it together is not gonna
be as easy as a lot of people think”
(Donald Trump, 15 Januari 2017). Pertanyaannnya adalah mengapa Presiden Amerika
yang ke-51 ini bisa begitu yakin bahwa negara lain juga akan mengikuti jejak
Inggris? Karena, pada dasarnya Inggris merupakan 70% pengimpor dari anggota Uni Eropa dan Brexit mungkin mengakhiri semua
TRQ yang dimana akan meningkatkan produksi-pelayanan-dan penjual dan sebagai
pengekspor terbesar bagi anggota Uni
Eropa. Dengan berhentinya Inggris sebagai anggota Uni Eropa maka Inggris tidak akan memberi masukan
terhadap Uni Eropa dan ini akan
mempengaruhi kepada harga produksi. Harga pound menjadi lemah yang disebabkan
oleh inflasi akibat gaji dan harga yang tidak sinkron dan juga para imigran
memiliki efek dalam hal ini. Salah satu
yaitu dengan pertanian Inggris yang memasok pada anggota Uni Eropa sebesar 60-65%.
Bingkai dari analisa Brexit ini bercabang, salah satunya adalah
masa depan politik di Eropa, secara refleks Mark pernah menulis bahwa ada
saatnya sosial bertransformasi besar, dimana liberal telah menguasai dalam
kejahatan, keadilan politik hanya akan menjadi tantangan. Bahkan Neo-Realisme
juga berpendapat bahwa keluarnya Inggris mengalami kerugian akibat relative
gains dalam kerja sama Uni Eropa. Hal ini dinyatakan oleh Richard V. Reevis
pengamat dari Institut Brooking yang menyatakan bahwa salah satu konsen utama
dalam referendum Brexit adalah persoalan imigran (Reevis, 2016). Berdasarkan
laporan UK Independent Factchecking Charity (UK IFC) bahwa net
migration yang berasal dari negara-negara anggota Uni Eropa
ke Inggris sekitar 60.000 orang pada tahun 2009, dan meningkat secara
pesat menjadi 185.000 orang pada tahun 2015 (UK IFC, 2016). Reevis menyatakan
bahwa Perdana Menteri David Cameron telah gagal merealisasikan janji
kampanyenya pada tahun 2010 dalam mengatasi permasalahan imigran di negaranya.
Karena ini menyangkut identitas negara dan norma (Checkel, 2008, dalam
Bahravesh, 2011). Namun, jika Uni Eropa
yang memiliki kesamaan identitas yang sama dan agama yang sama tidak akan
dibubarkan.
Hal ini menjadi salah satu penyebab Inggris menarik diri dari Uni
Eropa sejak bergabungnya pada tahun 1973, karena kepentingan nasionalnya tidak
didapatkan lagi di Uni Eropa, justru
membahayakan perekonomiannya dengan banyaknya kedatangan imigran dari negara
anggota Uni Eropa. Dengan demikian, bagi
Neo-Realisme, jika negara-negara anggota
Uni Eropa tidak mendapatkan kepentingannya masing-masing, maka
negara-negara tersebut akan keluar dari
Uni Eropa dan Uni Eropa juga pasti akan dibubarkan.
Namun, bagi Neo-Liberal Institusional, kerja sama institusi akan
memberikan absolute gains (keuntungan bersama), sehingga akan
menciptakan saling ketergantungan (Keohane & Nye, 2001, dalam Whyte, 2012).
Berdasarkan prespektif ini, keluarnya Inggris akan membuat gejolak bagi Uni
Eropa karena Inggris merupakan salah satu negara yang saling bergantung dengan
negara anggota Uni Eropa lainnya. Tetapi organisasi ini tetap akan bertahan,
selama memiliki aturan institusi, yang di antaranya adalah melalui prinsip
pasar tunggal yang diatur dalam Traktat Uni Eropa, seperti membebaskan
pergerakan orang, jasa, barang dan modal bagi negara-negara anggotanya, serta
penggunaan mata uang euro (European Union, 2015).
Komentar
Posting Komentar